Bimnews.id -Banda Aceh — Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) XVI tahun 2024 telah merumuskan 7 komitmen yang perlu dijalani oleh seluruh entitas PRBBK di Indonesia. Deklarasi yang dibacakan di Rumoh PMI Sabtu, 5 Oktober 2024 ini dibacakan oleh perwakilan pentahelix. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Bapak Aliman, S.Pi, M.Si. mewakili dari unsur pemerintah. Dari unsur masyarakat diwakili oleh Panglima Laot, Miftach T JuT Adek, dan dari unsur akademisi Ka.Prodi Manajemen Widya Bencana, Universitas Muhammadiyah Aceh, Soviana, S.T., M.Si.
Tidak hanya itu, dari unsur dunia usaha dibacakan oleh M. Dedy Jumaidy, SE, M. Si dan dari unsur CSO diwakili oleh Bpk. Surya Ramli dari Yayasan Geutanyoe.
Bapak Aliman, S.Pi, M.Si. dalam deklarasinya mengatakan konferensi ini menjadi ruang untuk mempertajam teori perubahan yang tertuang dalam Peta Jalan PRBBK Tahun 2024-2045, serta meninjau kembali dinamika pada ancaman, kerentanan, dan kapasitas pada tingkat komunitas dengan merawat refleksi atas tata kelola PRBBK di Indonesia.
“Upaya ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan dan kemandirian komunitas secara berkelanjutan, khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rawan terhadap ancaman bencana. Konferensi ini mengemuka kekhawatiran atas meningkatnya risiko-risiko bencana akibat pembangunan, perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan lain-lain,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa masyarakat berhadapan langsung dengan risiko-risiko tersebut, sehingga masyarakat harus ditempatkan sebagai aktor utama dalam mengelola risiko.
“Ruang partisipasi publik perlu diperkuat untuk memastikan kedaulatan komunitas dalam mengelola risikonya. Pengakuan terhadap hukum adat dan kearifan lokal harus dijaga sebagai bagian penting dari ketangguhan masyarakat,” ungkap lulusan Fakultas Perikanan IPB ini.
Di sisi lain, Panglima Laot, Miftach T JuT Adek menegaskan gerakan PRBBK tidak harus berbentuk programatik seperti Program Destana, Proklim, atau bentuk formal lainnya. PRBBK termasuk inisiasi komunitas dalam bentuk informal lainnya di ruang-ruang yang lebih cair, pada ranah publik dan ranah privat seperti rumah tangga. Komunitas yang berjuang dalam menghadapi pembangunan yang berisiko tinggi, adalah praktisi PRBBK yang berdaulat.
“Komunitas tidak boleh meningkat kerentanannya akibat pembangunan, sehingga terancam penghidupannya. Secara khusus, kami menyadari pola dan kecenderungan risiko yang dihadapi oleh komunitas pesisir, yang menggambarkan kelindan antara risiko baru dan implikasinya pada ruang hidup, terlebih bagi kelompok berisiko,” imbuhnya.
Di penghujung deklarasi entitas PRBBK di Indonesia menyatakan komitmennya untuk melakukan praktik-praktik PRBBK yang demokratis dan inklusif, termasuk didalamnya perlindungan dan pelibatan bermakna anak-anak dan orang muda, kelompok penyandang disabilitas, kelompok lansia, pemberdayaan dan penguatan kepemimpinan perempuan, keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan, serta masyarakat yang tinggal dalam kawasan rawan bencana, termasuk wilayah pesisir.
Pada akhirnya KN PRBBK XVI 2024 yang dimulai sejak tanggal 4 Juli 2024 secara daring di 9 region, serta agenda puncak di Banda Aceh dengan metode hybrid (daring dan luring) dari tanggal 3 – 5 Oktober 2024 sukses diselenggarakan. Melalui proses refleksi di 9 region, 18 diskusi tematik PRBBK dan tiga sidang pleno yang melibatkan secara kumulatif lebih dari 4,000 peserta mewakili sekitar 967 lembaga/institusi dari 35 provinsi, 207 kabupaten/kota. Partisipan berasal dari unsur masyarakat umum, komunitas, relawan, organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi penyandang disabilitas, lembaga berbasis agama/keyakinan, kelompok perempuan, pemerintah, entitas swasta, media massa, dan Akademisi.(**)
Bimnews.id – SULE